Meski kerap dipukul dan dikucilkan dari pergaulan, tak mematahkan semangat Cin Kun Min tetap belajar agama Islam. Rasa penasaran terus mengenal ajaran Islam terus bergelora dalam hatinya. Walau untuk belajar mengaji dan shalat harus dilakukannya secara sembunyi-sembunyi dari orangtuanya. Ia pun nekad memeluk Islam saat dirinya masih duduk di Sekolah Menegah Pertama, padahal kedua orangtuanya tak merestuinya. Cin Kun Min pun harus terusir dari rumah, dan tak diakui sebagai anak. Deraan cobaan itu tak menyurutkan semangatnya tetap memegang teguh agama yang baru saja diyakininya.
Sepintas penampilan pria satu ini terlihat sangat sederhana, pembawaannya tenang dan tutur katanya pun santun. Kitab Suci Al Quran terlihat berada dalam genggaman tangannya. Pria satu ini ternyata hafal Al Quran 30 juz. Wajah etnis Tionghoa jelas terlihat dari raut wajahnya. Pada Padang Ekspres, ia mempekenalkan namanya Muhammad Amin. Sehari-hari ia mengajar di Adzkia Taratak Paneh, Kiranji, Padang.
”Tak mudah berpindah keyakinan,” aku Amin memulai ceritanya. Tentangan terberat berasal dari keluarga sendiri. Orangtuanya sama sekali tak menyukai agama Islam. Keduanya menilai agama Kong Hut Chu terbaik, karena diwariskan leluhurnya.
Cin Kun Min atau Muhammad Amin mengenal Islam berawal dari pergaulannya dengan karyawan orangtuanya. Cin Kun Min lahir dan dibesarkan di Gesek Kota Tanjungpinang. Di tempat kelahirannya itu, banyak etnis Tionghoa berdomisili di sana. Mereka hidup berdampingan dengan masyarakat berbeda agama. Antara warga saling menghormati dan kepercayaan masing –masing
Lokasi rumah Cin Kun Min sendiri persis bersebelahan dengan masjid. Lantunan ayat suci Al Quran dan suara azan terasa sangat indah terdengar di telingganya. Hatinya kian tersentuh seiring kumandang suara azan paling kurang lima kali sehari. Kala itu, Cin Kun Min baru duduk di kelas IV di SD Negeri 143 Gesek Tanjungpinang. Saat pelajaran agama di sekolah ia pun mengikutinya, walau tak ada kewajiban baginya untuk mempelajari agama Islam. Di sinilah, lambat-laun Cin Kun Min memahami seperti apa Islam. Sang guru mampu menyajikan pelajaran secara sangat sederhana dan mudah dipahami.
”Guru bilang bahwa kenapa Islam harus menyembah Allah, karena Allah Yang Maha menciptakannya. Untuk apa harus menyembah orang yang tidak menciptakan kita? Kata-kata guru itu terus tergiang dalam ingatan saya. Otak saya mulai berpikir dengan agama yang selama ini saya anut. Sepulang sekolah saya tanyakan pada orangtua, kenapa kita harus menyembah Tepekong bukan Allah yang menciptakan manusia. Namun, jawaban orangtua tak bisa memberikam kepuasan terhadap batin saya,” ucapnya.
Pria kelahiran 28 Oktober 1964 ini menuturkan, orangtuanya meminta agar ia berhenti menanyakan pertanyaan seperti tersebut. Sang orangtua menekankan sang anak memeluk agama yang telah diwariskan leluhurnya. Jawaban orangtua tak membuat Cin Kun Min merasa puas. Pemahaman yang diberikan guru agamanya di sekolah jauh lebih masuk akal dibandingkan penjelasan orangtuanya.
Cin Kun Min terus menggali ajaran Islam, termasuk kepada pekerja kebetulan bekerja dengan orangtuanya yang rata-rata beragama Islam. Umumnya merekan berasal dari perantau dan masyarakat Madura. Ia belajar sedikit demi sedikit soal ajaran Islam. Semakin banyak ia mengetahui, rasa ketertarikannya semakin tinggi. Ia pun secara sembunyi-sembunyi belajar mengaji dan shalat di masjid di lingkungan tempat tinggalnya. Namun, sepandai-pandainya Cin Kun Min bersembunyi, keluarganya akhirnya mengetahuinya.
”Kakak saya datang ke masjid dan memaksa saya pulang ke rumah. Kakak bilang kamu bukan Islam ngapain ke masjid. Saya dipukul dengan kayu sebesar lengan. Saking kesalnya, kakak memukul sekuat tenaganya. Anehnya, walau ia lelah memukul saya, saya tak merasakan sakit. Setelah kejadian itu, justru semakin menambah semangat saya untuk terus mengenal Islam,” ucapnya.
Ia terus melanjutkan aksinya mempelajari agama Islam. Biarpun ia harus berulangkali dipukul atas tindakannya tersebut. Akhirnya, Cin Kun Min dikucilkan dari komunitasnya. ”Saya tidak ambil pusing. Lantunan ayat suci Al Quan terus terdengar indah di telinga saya. Rasa sakit dipukul dan dikucilkan sedikit pun tak membuat saya jera,” ucapnya.
Setamatnya SDN 143 Gesek Tanjungpinang, orangtuanya menyekolahkannya ke Kota Tanjungpinang. Jarak rumah dan sekolah barunya sekitar 20 km. Dengan kondisi jalan berlobang kala itu, ia harus menempuh perjalanan selama 1 jam untuk sampai di sekolah. Melihat kenyataan itu, orangtuanya menitipkan Cin Kun Min pada rekan bisnisnya.
”Rekan bisnis ayah saya bernama toke Yasun. Ternyata nasib baik justru berpihak pada saya, kebetulan di samping rumah toke Yasun ada juga masjid. Secara sembunyi-sembunyi saya belajar Islam di sana. Secara tak sengaja saya berkenalan dengan orang Lintau Batusangkar, namanya Erison Syarif. Dialah yang banyak membantu saya dalam menimba ilmu, termasuk ibu guru ngajinya bernama Hafzah,” tuturnya.
Keinginannya masuk Islam semakin kuat. Namun, ia belum memiliki keberanian masuk Islam. Sebab, jika ia masuk Islam, otomatis orangtuanya akan memukulnya lagi dan tidak akan membiayai sekolahnya. Waktu itu, ia hanya menceritakan keinginannya masuk Islam pada Erison Syarif. Beruntung Erison mendukung niatnya memeluk Islam. Bahkan, Erison berjanji membiayai sekolahnya jika orangtuanya marah atas agama barunya tersebut.
”Saya juga minta perlindungan dari orangtua angkat saya kepada Pak Erison itu. Alhamdulillah, beliau menjamin keselamatan saya dari kemarahan orangtua saya,” ucapnya. Waktu itu, Cin Kun Min masih duduk di kelas II SMP.
Berbekal tekad bulat, Cin Kun Min memutuskan pindah agama. Ia mengucapkan dua kalimat syahadat di Pengadilan Agama Tanjung Pinang dan mengganti nama dengan Muhammad Amin. Hanya dua hari rahasia itu mampu ditutupinya, orangtuanya pun akhirnya mengetahui dan marah besar padanya. Orangtuanya mengusir dan tidak lagi mengakuinya sebagai anak.
”Orangtua bilang saya bukan anaknya lagi dan tidak akan membantu sama sekali. Saya tak pernah lihat dia semarah itu. Saya hanya sedih melihat reaksi orangtua dengan agama yang saya anut. Tapi, tekad saya juga sudah bulat dan tidak akan mengubah pendirian,” katanya.
Sejak itu, orangtuanya tak pernah menegur atau pun bicara pada Cin Kun Min. Setelah tamat SMP, orangtua angkatnya mengajaknya tinggal di Lintau. Di sana ia bersekolah di Madrasah Aliyah Negeri (MAN). Secara rutin ia selalu mengirimkan surat pada orangtuanya, namun tak satu pun surat darinya dibalas orangtuanya. Setelah tiga tahun ia di Lintau, barulah orangtuanya membalas suratnya.
”Alhamdulillah hati orangtua saya mulai tergerak walau tak sepenuhnya memberikan restunya pada saya. Setelah tamat MAN, saya melanjutkan sekolah di Sekolah Tinggi Pengembangan Ilmu Al Quran (STPIQ) di Padang. Setelah tingkat II kuliah, saya pulang ke Tanjungpinang. Memang kala itu rasa cemberut masih ada di hati orangtua saya. Beliau masih belum bisa menerima saya masuk Islam,” ucapnya.
Tahun 1999, Cin Kun Min kembali pulang ke Tanjungpinang bersama anak dan istrinya. Waktu itu, terjadi perubahan sangat drastis dari orangtuanya. ”Sudah banyak perubahan orangtua terlihat, namun beliau masih belum dapat menerima saya sebagai muslim. Tahun 2004 saya kembali pulang kampung, kala itu saya memberanikan shalat dan mengaji di sana. Alhamdulillah, ternyata orangtua saya tak marah. Sekarang dari 12 orang keluarga saya, sudah ada 5 orang masuk Islam. Keinginan saya belajar Islam terus bergelora. Dalam waktu 4 tahun saya hafal 30 juz Al Quran. Allah telah memberikan saya hidayah begitu luar biasa. Sekarang saya bisa memetik hikmah dari buah kesabaran saya selama ini,” ucapnya.
Saat ini, menurut Cin Kun Min, orangtuanya sudah bisa memaklumi agama yang dianutnya. ”Memang butuh perjuangan yang panjang untuk mendapatkan restu orangtua. Tak mudah memang, namun inilah perjalan hidup saya untuk bisa memeluk agama Islam yang saya dambakan,” ucapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar